PT Karo Jambi Mengisi BBM Dari Gudang Penimbunan Ilegal, Drama Lawas yang Tak Kunjung Tamat

Jambi, 15 Januari 2025 – Ketika hukum seolah menjadi panggung sandiwara, di balik gudang seng ditengah pemukiman di wilayah lingkar barat, mobil industri PT Karo Jambi kembali menjadi sorotan.

Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini kedapatan mengisi bahan bakar minyak (BBM) dari gudang penimbunan ilegal, gudang itu berdiri angkuh di tengah masyarakat, bagaikan bom waktu yang menunggu detik-detik petaka. “Kalau sampai terbakar, siapa yang tanggung jawab? Sudah banyak kasus serupa di tempat lain,” ungkap R, seorang warga setempat dengan getir.

Fenomena ini bukan lagi sekadar isu kecil, melainkan cerminan nyata lemahnya supremasi hukum dan pengawasan pemerintah. Wakil Ketua I DPRD Provinsi Jambi, Ivan Wirata, mengatakan bahwa potensi pajak dari sektor energi ini terus terkuras. Namun, kenyataan pahitnya, siapa yang benar-benar peduli? Mafia BBM di Jambi sudah lama dikenal piawai bermain di celah hukum.

Analisis Hukum, Dimana Penegakan Aturan?

Jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, setiap kegiatan distribusi BBM wajib memiliki izin resmi. Pasal 53 dengan tegas menyebutkan bahwa pendistribusian tanpa izin dapat diancam pidana penjara hingga 6 tahun atau denda hingga Rp60 miliar. Namun, mengapa praktik seperti ini tetap langgeng?

Jawabannya sederhana, lemahnya pengawasan dan minimnya penegakan hukum. Sebagai perpanjangan tangan negara, aparat penegak hukum seharusnya lebih agresif dalam memberantas mafia BBM ini. Tapi, alih-alih menjadi pembasmi, sering kali mereka justru menjadi penonton di tribun elit.

Tak hanya itu, keberadaan gudang ilegal di kawasan pemukiman jelas melanggar aturan tata ruang. Pasal 135 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa kegiatan yang membahayakan masyarakat di lingkungan permukiman dapat dikenai sanksi pidana. Pertanyaannya: di mana pengawasannya?

Benarkah Mafia Lebih Berdaulat dari Negara?

Di negeri ini, mafia BBM seperti “penguasa dalam bayangan.” Dengan teknologi sederhana, mereka memodifikasi kendaraan untuk menampung BBM dalam jumlah besar, seolah-olah “inovasi” ini patut mendapatkan penghargaan. Sementara itu, masyarakat kecil yang antri berjam-jam demi BBM bersubsidi hanya bisa menggigit jari.

Ironisnya, pemerintah kerap mengusung jargon “berantas mafia migas.” Tapi pada kenyataannya, mafia ini seperti rumput liar—dicabut satu, tumbuh sepuluh. Apakah ini bukti bahwa hukum lebih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas?

Perlu langkah konkret untuk menghentikan sandiwara ini. Penegakan hukum harus lebih tegas, pengawasan harus diperkuat, dan transparansi harus menjadi prioritas. Jika tidak, cerita lama ini akan terus berulang, dengan masyarakat kecil sebagai korban utamanya. Pada akhirnya, kita hanya bisa bertanya, sampai kapan negara akan kalah dari mafia?